Muhammad Alkaf |
SIAPA pemilik masa
lalu, adalah pertanyaan yang akan selalu muncul ketika peristiwa lampau dibicarakan.
Masa lalu itu pada
titik tertentu hanya akan berhenti pada catatan kronologis, berupa angka,
waktu, dan aktor.
Namun, lebih dari itu, masa
lalu sering dijadikan sebagai keabsahan kepemilikan masa depan. Jadi, memiliki
masa lalu, maka akan mendapatkan masa depan.
Suharto menyadari hal
itu dengan sunguh-sungguh.
Selama menjadi
presiden, dia merecoki karya sejarah dan film, dengan menempatkan dirinya
sebagai tokoh sentral dari setiap peristiwa penting di masa lalu.
Perannya ditonjokan
dengan sangat kuat di film Janur Kuning
dan Pengkhianatan G 30 S/PKI. Suharto
sadar, charismanya sebagai pemimpin politik akan semakin kokoh apabila dia
membangun glorifikasi atas dirinya berdasarkan cerita- cerita dari masa lalu.
Ketika angkatan baru
Aceh, yang tumbuh dari tumpukan puing perang colonial, membangun kembali
narasinya, maka yang dilakukan awal adalah mencari masa lalunya.
Dari Hasjmy, kita
mendapatkan roman tentang Iskandar Muda, raja agung di abad ke 16 yang sempat
membuat Snouck Hurgronje jengkel. Melalui Ismail Yakub, patriotisme Tgk. Chik
di Tiro ditinggikan.
Masa lalu memang sedemikian
kuat, sampai-sampai Boyd R. Compton tertegun, ketika Daud Beureuh yang sedang
murung, menyebut masa Iskandar Muda, sebagai bayangan Aceh di masa depan.
Menjelang reformasi,
yang akan menunjukkan angka ke-20,
peristiwa itu kembali dibicarakan. Bahkan lebih riuh. Nama-nama yang hadir di
masa lampau dibicarakan lagi perannya.
Ada yang diangkat, dipuji
dan ada pula yang dihakimi. Setiap orang
sepertinya, sedang berlomba berteriak paling lantang, sebagai pemilik paling
sah dari reformasi itu.
Reformasi kemudian
menjadi frasa yang diperebutkan. Peristiwa itu ditulis sebagai garis demarkasi,
yang awalnya terlihat jelas, walau belakangan semakin kabur, antara masa lampau
yang kelam di dengan masa depan yang cerah.
Sedemikian pentingnya
reformasi, sebagai sebuah peristiwa politik, sehingga diakumulasi dengan
sedemikian rupa sebagai bahan baku electoral.
Demi kepentingan
electoral inilah, reformasi di angka ke-20 ini diperebutkan. Jadi jangan pernah
membayangkan, bahwa reformasi akan menjadi percakapan serius tentang apa yang
gagal, serta tentang apa yang berhasil selama dua dekade.
Apalagi berharap bahwa
reformasi dibicarakan secara lebih mendalam tentang agenda tantangan
kebangsaan. Sebab sedari awal, reformasi tidak pernah memiliki sebuah konsepsi,
kecuali hanya pada satu tujuan, menurunkan Soeharto dan menggantikan peran dari
elit lama.
Situasi yang diperparah
ketika reformasi tidak pernah menyelesaikan beban politik yang datang dari masa
lalu. Hal yang sampai kini menggelayuti jalannya reformasi. Mulai dari
pelanggaran HAM, perampasan tanah dan kekayaan alam dan rehabilitasi mereka
yang disangkakan dalam sejarah.
Bila terus begini,
reformasi yang diingati setiap tanggal 21 bulan ke lima, hanya akan menjadi
ajang kumpul berkumpul dan narsis-narsisan. []
[Muhammad Alkaf adalah pengajar di IAIN Langsa, kurator di Padeebooks