BULAN Ramadhan tinggal
hitungan jari, insan perindu kebajikan seperti tak sabar memasuki bulan yang
penuh kemuliaan itu, sehingga dengan rasa penuh bangga dan syukur mengalir
kata-kata indah “Marhaban ya
Ramadhan” sebagai ungkapan ketulusan akan kehadiran tamu agung.
Kata “marhaban”
secara linguistik terambil dari kata rahb yang berarti "luas"
atau "lapang", karena itu ungkapan marhaban senantiasa mencerminkan bahwa
Ramadhan sebagai tamu special disambut dan diterima dengan lapang dada diiringi
kegembiraan, karena bagi
pecintanya-Ramadhan bagaikan mutiara yang mengembul dari dasar lautan dengan
kilauan dan bentuk yang amat indah.
Mutiara yang indah kerap hanya bisa dikenali dan dipahami oleh
mereka yang mengerti hakikat mutiara, bagi sebagian orang mutiara hanyalah
seonggokan batu yang tidak bernilai sama sekali.
Karenanya, Allah
memanggil orang-orang yang beriman saja untuk melakukan puasa, sementara yang
mata hatinya buta dan tidak mengenal Allah maka Allah nafikan dari seruan ini.
Ramadhan bulan yang suci memang selayaknya disambut dengan penuh
gembira dan suka cita, dengan berbagai persiapan-persiapan yang matang, serta
menyediakan ruang dan tempat yang cukup baginya.
Sejatinya persiapan utama dalam menyambut ramadhan adalah dengan
memperbanyak zikir kepada Allah, belajar tentang ilmu yang berkaitan dengan
Ramadhan, membina suasana keluarga, lingkungan masjid dan lingkungan
masyarakat.
Di samping itu perlu pula mempersiapkan mentalitas dan azam yang
kuat serta rencana amalan terbaik di bulan Ramadhan.
Secara faktual, rasanya agak miris menyaksikan budaya masyarakat
kita selama ini, alih-alih mempersiapkan diri dengan apa yang saya sampaikan di
atas, ternyata banyak yang latah dalam memakanai penyambutan Ramadhan.
Misalkan
saja, setiap tahun kita saksikan betapa membludak dan tumpah ruahnya masyarakat
menyesaki pantai dan tempat-tempat rekreasi yang dikenal dengan istilah minggu
abeh.
Kelatahan semacam ini sejatinya dapat dieleminir, sebab di samping
tidak punya dasar yang kuat dan acapkali dijumpai pada acara minggu abeh
itu kontra produktif dengan semangat ramadhan, dimana pada acara tersebut kerap
dijumpai adanya percampuradukan laki-laki dan perempuan, kelebihan makanan,
hura-hura dan perbuatan tidak terpuji lainnya.
Sangat jelas, kegiatan semacam itu tampak sama sekali tidak
mencerminkan semangat meraih kebaikan di bulan Ramadhan.
Momentum Ramadhan ini mestinya dimaknai oleh setiap muslim dengan
memperbanyak kebaikan sebagai fitrah
manusia. Sebab berbuat baik adalah sesuatu yang “natugnral” karena perpanjangan
nalurinya secara primordial ada sejak
manusia belum dilahirkan ke dunia, karenanya jika Allah memerintahkan
manusia berbuat baik, sesungguhnya Dia hanyalah mengingatkan kita akan “nature”
kita sendiri, kecenderungan alam kita sendiri.
Perintah Allah agar manusia berbuat baik bukanlah untuk
“kepentingan” Sang Maha Pencipta itu sendiri dan bukan pula sebagai “pelayanan”
kita kepada Tuhan. Melainkan Perintah merupakan sebagai sarana agar manusia selalu ingat dan berpegang teguh
pada kebaikan yang Allah tanamkan pada diri manusia.
Marilah sambut Ramadhan dengan segala kelapangan hati dengan
semangat menggapai kebaikan.
[T. Lembong Misbah, adalah Ketua Prodi PMI, Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Ar-Raniry]
Artikel Terkait