Iklan

Iklan

Minggu Abeh

5/11/18, 02:11 WIB Last Updated 2020-06-27T09:06:45Z


 
T Lembong Misbah


BULAN Ramadhan tinggal hitungan jari, insan perindu kebajikan seperti tak sabar memasuki bulan yang penuh kemuliaan itu, sehingga dengan rasa penuh bangga dan syukur mengalir kata-kata indah “Marhaban ya Ramadhan” sebagai ungkapan ketulusan akan kehadiran tamu agung.

Kata marhaban secara linguistik terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", karena itu ungkapan marhaban senantiasa mencerminkan bahwa Ramadhan sebagai tamu special disambut dan diterima dengan lapang dada diiringi  kegembiraan, karena bagi pecintanya-Ramadhan bagaikan mutiara yang mengembul dari dasar lautan dengan kilauan dan bentuk yang amat indah.

Mutiara yang indah kerap hanya bisa dikenali dan dipahami oleh mereka yang mengerti hakikat mutiara, bagi sebagian orang mutiara hanyalah seonggokan batu yang tidak bernilai sama sekali.
Karenanya, Allah memanggil orang-orang yang beriman saja untuk melakukan puasa, sementara yang mata hatinya buta dan tidak mengenal Allah maka  Allah nafikan dari seruan ini.

Ramadhan bulan yang suci memang selayaknya disambut dengan penuh gembira dan suka cita, dengan berbagai persiapan-persiapan yang matang, serta menyediakan ruang dan tempat yang cukup baginya.

Sejatinya persiapan utama dalam menyambut ramadhan adalah dengan memperbanyak zikir kepada Allah, belajar tentang ilmu yang berkaitan dengan Ramadhan, membina suasana keluarga, lingkungan masjid dan lingkungan masyarakat.

Di samping itu perlu pula mempersiapkan mentalitas dan azam yang kuat serta rencana amalan terbaik di bulan Ramadhan.

Secara faktual, rasanya agak miris menyaksikan budaya masyarakat kita selama ini, alih-alih mempersiapkan diri dengan apa yang saya sampaikan di atas, ternyata banyak yang latah dalam memakanai penyambutan Ramadhan. 

Misalkan saja, setiap tahun kita saksikan betapa membludak dan tumpah ruahnya masyarakat menyesaki pantai dan tempat-tempat rekreasi yang dikenal dengan istilah minggu abeh.

Kelatahan semacam ini sejatinya dapat dieleminir, sebab di samping tidak punya dasar yang kuat dan acapkali dijumpai pada acara minggu abeh itu kontra produktif dengan semangat ramadhan, dimana pada acara tersebut kerap dijumpai adanya percampuradukan laki-laki dan perempuan, kelebihan makanan, hura-hura dan perbuatan tidak terpuji lainnya.

Sangat jelas, kegiatan semacam itu tampak sama sekali tidak mencerminkan semangat meraih kebaikan di bulan Ramadhan.

Momentum Ramadhan ini mestinya dimaknai oleh setiap muslim dengan memperbanyak  kebaikan sebagai fitrah manusia. Sebab berbuat baik adalah sesuatu yang “natugnral” karena perpanjangan nalurinya secara primordial ada sejak  manusia belum dilahirkan ke dunia, karenanya jika Allah memerintahkan manusia berbuat baik, sesungguhnya Dia hanyalah mengingatkan kita akan “nature” kita sendiri, kecenderungan alam kita sendiri.

Perintah Allah agar manusia berbuat baik bukanlah untuk “kepentingan” Sang Maha Pencipta itu sendiri dan bukan pula sebagai “pelayanan” kita kepada Tuhan. Melainkan Perintah merupakan sebagai sarana  agar manusia selalu ingat dan berpegang teguh pada kebaikan yang Allah tanamkan pada diri manusia.

Marilah sambut Ramadhan dengan segala kelapangan hati dengan semangat menggapai kebaikan. 

[T. Lembong Misbah, adalah Ketua Prodi PMI, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry]


Artikel Terkait




Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Minggu Abeh

Terkini

Topik Populer

Iklan