Sehat Ihsan Shadiqin |
BELAKANGAN ini warung kopi muncul di Banda Aceh laksana cendawan di musim hujan.
Sebulan tidak lewat di suatu jalan, bulan berikutnya sebuah warung kopi sudah berdiri di sana.
Bagaimana kalau setahun? Teman saya dari Jogja penggila kopi yang datang ke Aceh setahun sekali merasa sudah “masuk surga” setiap kali mendarat di Banda Udara Sultan Iskandar Muda.
Warung-warung kopi baru yang muncul belakangan ini memiliki kesamaan: memiliki mesin pembuat kopi.
Saya melihat mesin-mesin itu diletakkan di atas meja dan langsung berhadapan dengan pelanggan. Seolah mengatakan: Warung kami menggunakan mesin ini!
Berbeda mesin berbeda pula rasa kopi. Seorang teman mengatakan investasi pada mesin-mesin kopi itu sangat gila.
Ada mesin berharga satu dua juta, ada yang belasan juta, bahkan ada yang puluhan juta.
Lebih gila lagi, ia mengatakan, ada sebuah warung milik kenalannya yang membeli mesin pembuat kopi seharga mobil Avanza Veloz baru! Oh.. po lon!
Kehadiran warung kopi dengan mesin-mesin itu ikut menambah khazanah jenis minuman kopi yang ada di sana.
Nama kopi sudah mengikuti nama-nama internasional: espresso, americano, coffee latte, machiato, dan lain sebagainya.
Meskipun sambil berbisik, seorang teman yang bolak-balik ke luar negeri mengatakan: nama boleh luar negeri, namun rasa tetap Aceh.
Uniknya, kehadiran beragam warung kopi ini tidak membunuh warung kopi model lama yang ada di Banda Aceh.
Beberapa diantara warkop lama memang menyesuaikan diri dengan perkembangan baru, namun beberapa yang lain tetap pada model lama yang diwarisi dari orang tuanya sejak lama.
Mereka menyajikan kopi robusta yang digonseng manual, disaring dengan saringan tradisional, dan disajikan dalam gelas kaca biasa.
Pun demikian warkop lama ini tetap ada peminatnya, bahkan beberapa diantaranya tidak kalah banyak dari warkop yang baru muncul.
Mereka tetap eksis dengan proses kopi yang lama dan mendapatkan pelanggannya puas dengan penyajian model itu.
Saya mengunjungi sebuah warkop model lama ini di Ulee Kareng setelah shalat subuh, berjumpa dengan beberapa orang paruhbaya di sana.
Satu hari pertama tidak ada basa basi, beberapa hari berikutnya saya duduk semeja dengan mereka. Di sana saya mendengar pengalaman mereka tentang kopi.
Seorang Bapak, tepatnya kakek, yang dipanggil Pak Lah mengatakan kalau dia sudah minum kopi di sana sejak tahun 1980.
Teman-temannya banyak yang sudah meninggal dunia. Beberapa diantara mereka masih bersua di warung kopi ini setiap pagi.
Ia mengatakan kopi di sana yang terbaik yang pernah ia rasakan. Kopi-kopi di warkop baru saat ini membuat ia mau muntah.
“Pernah saya diajak Pak Keuchik ke Lampineung. Dikasih kopi gelas kecil. Pulangnya saya muntah,” kenangnya.
“Mesin-mesin itu bikin rasa kopi aneh-aneh. Kalau bukan Allah kasih enak, mana enak.”
Saat pulang saya melintasi sebuah warung kopi baru dan teringat apa yang dikatakan Pak Lah.
“Mesin-mesin membuat rasa, tapi kenikmatan adalah anugrah-Nya.
Dalam kehidupan ini, kita bisa hidup dengan mesin-mesin ciptaan manusia, namun Allah memberikan rasa nyaman, kepuasaan, rasa aman, dan tentu saja kenikmatan. Uang yang banyak, kenderaan mewah, rumah megah bisa dibangun dengan uang.
Namun apakah kita bisa mendapatkan kenyamanaan dan kepuasaan di sana? Belum tentu. Ada banyak pemilik rumah mewah tidak bisa tidur, sementara penghuni gubuk reot pulas mendengkur.
Dekatkan diri kepada-Nya, agar “rasa” yang dibuat mesin disertai dengan “nikmat” yang diberikan Tuhan. [Sehat Ihsan Shadiqin adalah etnografer, menetap di Banda Aceh]
Artikel lain:
Kreueh bukan Kréh
Memenjarakan Pelakor