T. Lembong Misbah |
KEUTAMAAN dan kemuliaan bulan Ramadhan tidak dapat dilukiskan
dengan kata-kata, sekalipun berjilid-jilid buku telah ditulis, penyampaian para
penceramah yang berbuih-buih di mimbar, namun rasanya tidak mampu menjelaskan
secara utuh tentang isi yang terkandung dalam bulan Ramadhan.
Ia acapkali
dianalogikan seperti mutiara, semakin diselami maka semakin banyak keindahan
yang dijumpai.
Selain itu, bulan Ramadhan
disebut juga dengan Syahrun Najah (bulan kelepasan dari azab neraka), Syahrul
Muwaasah (bulan perhitungan), Syahrus Siyam (bulan berpuasa), dan
lain-lain.
Deretan sebutan di atas, tentu
lebih dari cukup untuk mengajak setiap insan beriman berlomba-lomba dalam
merengkuh setiap keutamaan dan kemuliaan Ramadhan yang dihidangkan oleh Allah
kepada hamba-Nya.
Tapi pertanyaannya, mengapa
hidangan yang begitu lezat itu tidak dapat dinikmati oleh sebagian orang yang
mengaku dirinya muslim, malahan acapkali dijumpai adanya orang-orang yang
mengeluh dan menyebut melaksanakan ibadah Ramadhan (terutama puasa) terasa
begitu berat baginya bagaikan mengusung
onggokan gunung Seulawah?
Trus! Mengapa muncul perasaan
berat itu, padahal dari menu yang Allah tawarkan sangat bombastis, malahan Nabi
bersabda: Jika kamu mengerti
tentang apa yang terdapat di
bulan Ramadhan maka kamu akan meminta seluruh bulan menjadi bulan Ramadhan.
Karenanya menarik untuk diungkap, mengapa ada orang yang merasa berat dalam melaksanakan
ibadah ramadhan. Salah satu jawabannya adalah karena ekspektasi tentang
Ramadhan tersebut sangat minim.
Manusia biasanya akan
bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu, manakala dia punya ekspektasi
terhadap apa yang dikerjakannya.
Misalkan saja seseorang yang mau bekerja non stop semalam suntuk - akan terasa
ringan baginya, manakala dia punya ekspektasi besar terhadap apa yang
dilakukannya (terutama gaji besar).
Jadi, setiap orang beriman sejatinya menggantungkan
ekspektasi super besar terhadap ramadhan, karena Ramadhan bulan penuh berkah.
Allah
menjanjikan pahala yang berlipat ganda, Rahmat dan ampunan Allah diobral serta dijadikan
sebagai instrumen untuk mengejewantahkan fitrah hidup manusia.
Artinya jika
ekpektasi ini muncul maka rasanya waktu sedetikpun tak rela tuk dilewatkan demi
merengkuh keutamaan dan kemuliaan Ramadhan yang Allah tawarkan.
[T Lembong Misbah, adalah Ketua Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Ar-Raniry, Banda Aceh]