ABOEBAKAR
Aceh
mengatakan orang Aceh juga sering
memberikan definisi terhadap kata ACEH, dengan dimulai kata A yang dipahami
Arab, C sebagai Cina, E dengan Eropa, dan H dengan Hindia.
Dari kata Aceh maka disitu pula ada empat agama besar yang
muncul yakni, Arab dengan Islam, Cina dengan Agama Kong Hucu atau Tao, Eropa
dengan melalui agama Kristen, dan terakhir Hindia dengan agama Hindu. Dapat
dipastikan bahwa keempat agama besar itu pun pernah bertapak di Aceh.
Namun menurut Kamaruzzaman Bustaman dalam bukunya Acehnologi
berpendapat bahwa pengaruh Cina, Kristen dan Hindu tetap dapat dijumpai di
dalam masyarakat Aceh sampai hari ini. Yang menarik, setiap ada perilaku yang
merupakan berasal dari agama besar tersebut dipahami sebagai budaya atau adat
istiadat, bukan agama.
Namun demikian, karena Kristen adalah salah satu dari agama
sempit, maka praktek yang berbau Cina dan Hindu di pandang sebagai “pelengkap”
budaya Aceh. Adapun mengenai tradisi Kristen telah mengalami pergeseran karena
kuatnya dominasi ajaran Islam yang juga punya pengaruh yang sangat kuat
terhadap Eropa. Sehingga Kristen kemudian lebih banyak dipandang sebagai
“kafir” bagi orang Aceh.
Peusijuk
Peusijuek (bahasa Aceh) atau menepung tawari adalah salah
satu tradisi masyarakat Aceh yang masih dilestarikan sampai sekarang. Peusijuek
dikenal sebagai bagian dari adat masyarakat Aceh. Peusijuek secara bahasa
berasal dari kata sijuek (bahasa Aceh yang berarti dingin), kemudian ditambah
awalan peu (membuat sesuatu menjadi), berarti menjadikan sesuatu agar dingin,
atau mendinginkan.
Menurut Badruzzaman Ismail peusijuek merupakan prosesi adat
yang dilakukan pada kegiatan-kegiatan tertentu dalam kehidupan masyarakat Aceh,
seperti peusijuek pada upacara perkawinan, upacara tinggal di rumah baru,
upacara hendak merantau, pergi/naik haji, peusijuek keureubeuen (kurban),
peusijuek perempuan diceraikan suami, peusijuek orang terkejut dari sesuatu
yang luar biasa (harimau, terjatuh dari pohon, kena tabrakan kendaraan yang
mengucurkan darah berat), perkelahian, permusuhan, sehingga didamaikan. Bahkan
sampai kepada yang sangat ekstrim, peusijuek dianggap amalan agama yang tidak
boleh ditinggalkan. Bila meninggalkannya akan ditimpa musibah atau tidak ada
keberkatan dalam menjalankan kegiatannya.
Adapun bahan yang digunakan adalah Oen sineujuek melambangkan dingin (mendinginkan), oen manek-manoe melambangkan kerukunan, oen naleung sambo melambangkan kesatuan,
oen gaca melambangkan keindahan, oen sekee pulot melambangkan kewangian, oen pineung melambangkan keharmonisan, oen rehan melambangkan kemuliaan, beras
dan padi, garam, jeruk nipis, air dan tepung, garam dan gula.
Tradisi
Hindu dalam Budaya Aceh
Adat dan budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islam masih
dipengaruhi oleh tradisi hindu. Setelah Islam masuk, unsur-unsur hindu
dihilangkan, namun tradisinya masih ada yang dipertahankan sampai sekarang.
Cut Nyak Kusmiati mengungkapkan pengaruh Hinduisme kedalam budaya Aceh memang sangat tranparan
dan terasa kuat. Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India.
Sedangkan pendapat S.M. Amin yang
menyatakan bahwa pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India
masuk diperkirakan 2.500 SM. Saat itu orang-orang India telah banyak membuat
perkampungan di Aceh. Selanjutnya Ismail Jakup menulis dalam bukunya Sejarah Islam di indonesi bahwa orang
Hindu datang dari Hindia menempati sebelah barat laut pulau Sumatra, dan mereka
tertarik dengan rempah-rempah yang ada di Nusantara. Sambil berniaga orang
Hindu mengembangkan agama dan kebudayaan mereka di bumi Nusantara, dan mereka
bergaul serta kawin dengan masyarakat setempat, sehingga pada abad ke 2
Masehi telah banyak orang Hindu yang menetap di Nusantara.
Peradaban Hindu di Aceh menurut Junus Djamil dalam bukunya Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh,
menjelaskan bahwa telah berdiri sebuah kerajaan di Peureulak sebelum
kedatangan kebudayaan Islam, Peureulak telah lama berdiri dan raja-raja yang
memerintah negeri itu berasal dari turunan raja-raja Negeri Siam (Syahir Nuwi).
Kerajaan Peureulak yang terletak di Aceh Timur (sekarang) semula berada dibawah
kendali Kerajaan Sriwijaya (Palembang). Di mana setelah kondisi politik dan
pertahanan dalam negeri Sriwijaya melemah akibat serangan dari Kerajaan Choli
(India) dan juga Kerajaan Majapahit (Jawa), maka Kerajaan Peureulak melepaskan
diri dari kungkungan Kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi kerajaan yang
berdaulat penuh.
Walau saat ini islam telah kuat, bahkan Aceh telah berjuluk
Serambi Mekkah dan menerapkan hukum Syariat Islam, namun masih ada sebagian
dari tradisi Hindu yang terus melekat pada masyarakat Aceh salah satunya
seperti tradisi “peusijuk”.
Tradisi peusijuk yang sebelumnya masih menggunakan mantra
atau doa-doa tertentu. Namun semenjak masuknya agama Islam di Aceh, tradisi
tersebut kemudian diubah dengan memasukan unsur keislaman didalamnya seperti
doa-doa keselamatan, shalawat,doa-doa dalam ajaran Islam lainnya. Walaupun
begitu prosesi pelakasanaan Peusijuek ini masih tetap dipertahankan hingga
seperti bentuk yang sekarang.
Peusijuek
dalam Pandangan Islam
Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma
aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain dan menerima
akomodasi budaya. Sebagaimana yang ungkapkan oleh Poespowardojo di sisi lain
budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan
kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan
mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi
budaya”, antara budaya lokal dan Islam. Dari sana dapat dilihat bahwa Islam
sangat akomodatif dalam menerima budaya lokal, sehingga dapat ditemukan adanya
budaya lokal yang menjadi budaya Islam.
Sebagian praktik-praktik animisme dan ajaran Hindu juga
masih diizinkan untuk dipraktikkan dengan mengubah ritual-ritual tersebut
sesuai dengan ajaran Islam. Ini merupakan bukti bahwa Islam masuk ke Aceh dan
Indonesia pada umumnya secara damai, bukan dengan pedang. Ini juga membuktikan
bahwa ajaran Islam sangat elastis dan dapat membaur dengan berbagai peradaban
dan budaya di dunia. Oleh karena itu tidak mengherankan bila kita mendapatkan
adanya sebutan Islam Maroko, Islam Jawa, dan lain-lain, karena memang Islam
dapat menerima dan menghargai budaya dan peradaban manusia dimanapun, sesuai
dengan misinya Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam di Indonesia bukan semata
replika dari Islam Timur Tengah atau Asia Selatan, lebih dari itu ia merupakan
tradisi intelektual dan spritual dari dunia muslim yang paling dinamis dan
kreatif, sebagaimana yang di tulis oleh Woodword dan Mark dalam Islam Jawa, Kesalehan Normayif versus
Kebathinan.
Sebagian kebiasaan atau adat masyarakat Aceh yang dianggap
tidak bertentangan dengan Islam salah satunya seperti tradisi peusijuk masih
dilestarikan dan diperbolehkan oleh para ulama pada zaman awal Islam di Aceh. [Azizah]