Foto : wasatha.com/Tazky
MENDENGAR nama
Ahmad Arif, pasti
tidak sedikit masyarakat yang tidak tahu tentangnya. Namun, dimulai
dengan RUMAN yang mampu membawa namanya terkenal seperti sekarang. Di tambah
pula dengan kegiatan MIBARA yang kita dapati di Blang Padang setiap minggu pagi, apabila
tidak sedang turun hujan.
Namun adakah yang
mengetahui perjuangan yang dilakukan oleh lelaki yang sering disapa Arif ini
untuk mewujudkan semua yang didapatkannya sekarang?
Lelaki yang murah
senyum ini dulunya bertempat tinggal di Kuta Cane dan menyelesaikan SD kampung halamannya tersebut.
Untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA, ia melanjutkan studinya di pesantren
Raudhatul Hasanah, Medan. Kemudian mendapatkan undangan untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dari Universitas Sumatra Utara (USU)
tepatnya di Fakultas Hukum.
Akan tetapi hal itu
tidak berlangsung lama dikarenakan rezeki kembali menyapa Arif berupa beasiswa ke UIN
Syarif Hidayatullah pada tahun 2000 jurusan Perbankan Syariah. Namun perjalanan
dalam menimba ilmu di jalur formal yang beliau jalankan tidak terselesaikan
dikarenakan ada beberapa faktor eksternal di luar perkiraan.
Pada tahun 2004, pasca diterpa
gelombang Tsunami, Aceh
menjadi sorotan dunia dan berbagai lembaga donatur berdatangan untuk memberikan
bantuan. Ahmad Arif ikut berkontribusi mendampingi para donator dari beberapa
Negara, namun ia tidak bisa tinggal dalam waktu yang lama di Aceh karena
masih berstatus mahasiswa di Jakarta. Oleh karena itu sebulan setelah Tsunami Arif kembali lagi ke Jakarta untuk menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir
dan juga ada tiga mata kuliah yang harus diperbaiki.
Namun lagi-lagi
panggilan dari para donator yang didampingi sebelumnya datang ketika aktivis itu sedang menyelesaikan skripsinya. Bahkan, diundang oleh salah satu lembaga kebajikan dari Negeri jiran,
Malaysia. Sepertinya jalan hidup Arif masih saja
berliku, ini terbukti dengan munculnya beberapa kendala yang membuat ia harus membatalkan keberangkatan ke Malaysia.
“kocaknya nikah jadi
ke Malaysia ngak jadi” ujar Arif
Semua yang sudah
terjadi kepada pendiri RUMAN ini tidak berhenti hanya disini, Sekenario Allah
terus berlanjut.
Agustus 2005 beliau mendapat panggilan ke Turki sebagai
representasi mahasiswa yang aktif di rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh
pasca Tsunami sebagai delegasi
spesial. Selanjutnya, pada tahun 2006 Arif mendapat tawaran dari Manager Qatar
Charity Aceh yang
memang mengetahui bahwa ia belum menyelesaikan study di bangku universitas.
Oleh karena itu beliau harus menegosiasikan ulang jadwal kuliah dengan jadwal kerja
di Qatar Charity.
Akhirnya Ahmad Arif memutuskan untuk pindah kuliah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ke IAIN
Ar-raniry Banda Aceh. Namun permasalahan tetap saja muncul dikarenakan status
kampus yang berbeda, dari universitas ke institute, mengharuskan ia menambah beberapa mata kuliah lagi dari sebelumnya hanya tiga mata kuliah
menjadi dua belas mata kuliah dari Senin sampai Jumat, pagi sampai
sore.
Dilema kembali
menghampiri, Ahmad Arif. ia di hadapkan dengan dua pilihan yaitu berhenti kuliah dan
bekerja di Qatar Charity atau sebaliknya lanjutkan kuliah tapi berhenti
di Qatar Charity.
Dengan pertimbangan yang sangat matang, ditambah dengan
pertimbangan status Arif yang sudah berkeluarga kemudian ia memilih
bekerja di Qatar Charity dan meninggalkan studynya yang tinggal beberapa
langkah lagi.
“Dengan Bismillah
maka tutuplah bab kuliah” ujar Arif
Pada tahun 2007 Arif mulai mendirikan RUMAN (Rumah Baca Aneuk Nanggroe) yang sebelumnya hanya
pustaka pribadi yang bertempat di rumahnya. Pada awalnya Arif bertujuan
membuka perpustakaan untuk mahasiswa, dikarenakan buku yang disediakan
lebih kepada buku-buku mahasiswa, namun para pembacanya kebanyakan para
masyarakat. Akhirnya perpustakaan tersebut dibuka untuk
masyarakat pada 08 April 2013. berselang satu tahun, tepatnya pada tanggal 18
Mei 2014, RUMAN membuka kegiatan yang bernama MIBARA (Minggu Baca Rame-rame).
Konsep yang dibawa
oleh RUMAN sendiri pun sangat sederhana yaitu “Jujur itu membuat hidup kita
nyaman”. Karena
konsep yang ditawarkan
inilah membuat penikmat MIBARA lebih nyaman. Di dalam MIBARA tidak ada yang
namanya punishment, akan tetapi mereka memberi jalan
yang lebih mudah. Dan MIBARA ini juga muncul untuk merubah perspektif
masyarakat terhadap penjaga pustaka yang kebanyakan kurang ramah.
RUMAN ini hadir
memang untuk masyarakat sehingga mereka memegang mazhab Hana Fee (Hana berarti
tidak dalam bahasa Aceh dan Fee berarti biaya dalam bahasa Inggris).
Jadi
mereka menerima semua sumbangan atau pun bantuan yang ditujukan kepada RUMAN,
namun mereka tidak menerima adanya iming-iming dibelakangnya. Ketika banyak
lembaga hadir dengan penyelewengan-penyelewengan, namun RUMAN hadir
sebagaimana yang diamanahkan. Apabila ada donasi dari para donator maka RUMAN
akan melaksanakan apa yang di amanahkan oleh para donator.
Selain mendirikan RUMAN, Arif juga mendirikan PAUD untuk anak-anak kurang mampu. Dalam proses pemilihan
anak didiknya, tim RUMAN langsung melakukan survei ke rumah-rumah. Di sela-sela
kegiatan yang mereka jalankan, mereka juga menggelar TESA PELAN (Tebar Sarapan
Penyapu Jalan) yang dilaksanakan setiap sabtu.
Ketika kita mendengar
istilah “Usaha tidak menghianati hasil” mungkin kita akan berfikir itu tidak
mungkin, akan tetapi semua itu dapat kita buktikan ketika kita melihat RUMAN.
Usaha yang dimulai oleh lelaki yang berperawakan tidak terlalu tinggi ini tidak
berjalan mulus seperti jalan tol tapi pasti ada lubang yang menghalanginya.
Ketika melihat
perjuangan Ahmad Arif, kendala ataupun hambatan yang diterima datang silih
berganti. Dimulai dengan putusnya kuliah dan diikuti dengan hambatan-hambatan
lainnya, namun semua itu tidak membuatnya putus asa.
RUMAN yang dari
awalnya memang mengusung status lembaga sosial membuatnya mudah diterima oleh
masyarakat. Dan untuk saat ini, RUMAN memberikan banyak manfaat bagi masyarakat
dan tentu saja memberikan inspirasi bagi anak bangsa. [Nuriya Tazkiya Putri]/ Dhi